Banyak siswa dari berbagai jenjang pendidikan mengalami kesulitan dalam mengelola waktu, padahal hampir seluruh hidup mereka diatur oleh jadwal—mulai dari jam pelajaran, jadwal tugas, hingga agenda ujian. Namun ironisnya, pengelolaan waktu atau manajemen waktu justru tidak pernah diajarkan secara sistematis di sekolah. depo qris Kurikulum sibuk mengejar materi akademis, tapi mengabaikan keterampilan dasar yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan nyata.
Di balik lembar-lembar pelajaran, siswa dituntut disiplin, tepat waktu, dan produktif, tetapi tidak pernah diberi pemahaman tentang bagaimana mengatur waktu secara efektif. Akibatnya, banyak yang tumbuh menjadi pelajar bahkan orang dewasa yang bingung saat menghadapi banyak tanggung jawab.
Beban Akademik yang Tidak Diimbangi Keterampilan Hidup
Sistem sekolah sering kali menumpuk kewajiban akademik tanpa memberikan alat bantu yang memadai. Siswa harus menyelesaikan PR, belajar untuk ujian, mengikuti ekstrakurikuler, dan menjaga nilai tetap baik, tapi tidak ada pelajaran yang mengajarkan cara menyusun prioritas, menetapkan batas waktu, atau mengelola energi secara bijak.
Dalam kenyataan, banyak pelajar merasa lelah bukan karena pelajaran itu sendiri, tapi karena tidak tahu cara mengatur waktu dan energi mereka. Mereka bisa saja belajar sepanjang hari, namun tetap merasa tidak cukup produktif. Sebaliknya, ada pula yang menunda-nunda tugas karena tidak terbiasa menyusun jadwal atau membagi waktu secara realistis.
Sekolah Lebih Menilai Hasil daripada Proses
Nilai akhir dan peringkat sering kali menjadi indikator utama keberhasilan di sekolah. Ini menciptakan budaya yang lebih menekankan pada hasil akhir ketimbang proses belajar. Padahal, manajemen waktu adalah bagian penting dari proses belajar itu sendiri. Tanpa keterampilan ini, siswa kesulitan menjalani rutinitas belajar yang konsisten, teratur, dan seimbang.
Guru jarang menanyakan bagaimana siswa mengatur waktunya. Bahkan ketika seorang siswa gagal mengumpulkan tugas atau datang terlambat, fokusnya hanya pada sanksi, bukan pada pemahaman mengapa itu bisa terjadi. Tidak ada ruang untuk membedah apakah siswa benar-benar tahu bagaimana mengelola waktu, atau hanya sekadar mencoba mengikuti arus kewajiban.
Ketika Waktu Jadi Beban, Bukan Sumber Daya
Alih-alih melihat waktu sebagai alat bantu, banyak siswa justru merasa waktu adalah musuh. “Tidak punya cukup waktu” menjadi keluhan umum, padahal masalahnya bukan jumlah waktu, melainkan cara mengelolanya. Ini menunjukkan ada celah besar dalam pendidikan dasar: tidak ada pelajaran eksplisit tentang bagaimana waktu seharusnya digunakan.
Bahkan siswa yang tergolong rajin pun bisa mengalami kelelahan mental karena tidak tahu kapan harus berhenti, kapan harus istirahat, atau kapan harus produktif. Mereka terus bergerak tanpa strategi, dan ini menciptakan tekanan yang tidak terlihat tapi berdampak panjang.
Manajemen Waktu Sebagai Bagian dari Kesehatan Mental
Kurangnya kemampuan mengatur waktu tidak hanya berdampak pada prestasi akademik, tapi juga pada kesehatan mental. Perasaan dikejar-kejar tugas, panik menjelang tenggat, atau kecewa karena tidak mencapai target adalah konsekuensi langsung dari ketiadaan keterampilan ini. Dalam jangka panjang, ini bisa mengarah pada kecemasan kronis, burnout, dan hilangnya motivasi belajar.
Jika pengelolaan waktu dianggap bagian dari proses pembelajaran dan dikembangkan sejak dini, siswa akan lebih siap menghadapi tekanan, tidak mudah stres, dan punya hubungan yang lebih sehat dengan waktu. Sayangnya, hal ini belum jadi perhatian serius dalam sistem pendidikan formal.
Kesimpulan
Sekolah selama ini menekankan banyak hal—dari matematika hingga sastra, dari IPA hingga sejarah—namun mengabaikan satu keterampilan fundamental yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari: manajemen waktu. Kurangnya pelajaran tentang bagaimana mengelola waktu menjadikan siswa cenderung kewalahan menghadapi tuntutan akademik. Waktu yang seharusnya menjadi sumber daya justru berubah menjadi beban karena tidak diajarkan cara mengendalikannya.
Kesenjangan antara apa yang dituntut dari siswa dan apa yang diajarkan kepada mereka menjadi refleksi besar bagi sistem pendidikan saat ini. Selama pengelolaan waktu belum dianggap sebagai bagian penting dari kurikulum, siswa akan terus tumbuh dengan kemampuan akademik yang tinggi, tapi tidak tahu cara menjalani hari dengan seimbang.